BERDZIKIR DENGAN TASBIH
Berdzikir dengan menggunakan tasbih adalah sebuah ritus yang biasa ditemui dalam masyarakat muslim. Tak hanya digunakan saat menghitung bilangan dzikir, tasbih ternyata juga menjadi aksesori keseharian di kalangan muslim. Alat tasbih ini, yang biasa disebut tasbih saja, adalah semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang, atau lainnya, yang dirangkai dengan benang atau tali, yg jumlahnya biasanya seratus biji, bahkan ada juga yang lebih.
Orang-orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasabih, nizham, atau alah. Sementara orang** sufi menyebutnya al-mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), Rabithoh al-qulub (pengikat hati), Habl al-washl (tali pencapaian), atau Sauth asy-syaithon (cambuk setan).
Tentang tasbih, banyak ulama yang menulis dan membahas hukum penggunaan alat untuk menghitung dzikir ini. Di antaranya kitab Al-Minhah fi as-Subhah, Al-Hawi li al-Fatawa, karya As-Suyuthi, Nuzhah al-Fikr fi Subhah adz-Dzikr, karya Al-Luknawi. Tak ada perbedaan pandangan mengenai hukumnya, bahkan menurut jumhur ulama hal itu tak perlu diperselisihkan.
Sejarah Tasbih
Tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya, Tashhih ad-Du’a‘, menyebutkan, tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800 M, orang-orang Buddha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al-Barahimah di India, pendeta Kristen, dan rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke seluruh Asia.
Orang Buddha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Begitu juga apa yang dilakukan orang-orang Hindu di India, lalu dipraktekkan orang** Kristen pada Abad Pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad ke-15 M dan 16 M. Dalam kitab Musahamah al-Hind disebutkan, orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga, menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Seorang tokoh sufi, Al-Bannan, dalam kitabnya, Minhah Ahl al-Futuhat wa adz-Zauq, menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahludz dzikr wal awrad (orang yang mulazamah berdzikir dan membacanya secara rutin) menyibukkan dzikirnya dengan alat tasbih itu.
Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.
Menurut riwayat, bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke-2 Hijriyyah. Ketika itu nama “tasbih” belum digunakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi, yang mengutip keterangan dari gurunya di dalam kitab Taj al-‘A’ras. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang di mana-mana.
Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik.
Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya kepada seorang waliyullah yang bernama Al-Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana termaktub dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyiriyyah, “Apakah orang semulia Anda mau memegang tasbih?”
Al-Junaid menjawab, “Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT tidak akan kutinggalkan.”
Sejak abad ke-5 Hijriyyah penggunaan tasbih makin meluas di kalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum salaf maupun dari kaum khalaf (generasi muslimin berikutnya), yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar.
Kayu Kokka
Seiring dengan perkembangan alat penghitung dzikir ini, inovasi demi inovasi yang dilakukan para pengrajin pembuat alat tasbih semakin beragam. Jika pada masa lalu alat tasbih menggunakan kerikil dan benang yang dipintal, pada masa berikutnya alat tasbih ini banyak diproduksi dari bahan baku kayu atau tulang ikan. Salah satu bahan baku yang terkenal dalam kerajinan tasbih ini adalah kayu kokka. Biasanya yang digunakan untuk pembuatan biji-biji tasbih ini adalah buah dari pohon tersebut.
Kaukah atau kokka, atau juga disebut pokah, adalah sejenis kayu yang paling terkenal digunakan untuk membuat biji-biji tasbih di Timur Tengah. Kokka adalah salah satu kayu yang sangat tua riwayatnya. Konon, Nabi Nuh AS membuat perahu dengan bahan dari kayu ini. Begitu pun dengan Nabi Musa AS, dengan tongkatnya yang terbuat dari kayu kokka, ia diberikan kemu’jizatan melawan penyihir Fira’un. Beberapa nabi lainnya juga diriwayatkan menggunakan kayu kokka dalam perjalanan dakwahnya.
Menilik sejarahnya, citra kayu ini pun menjadi “sakral” di mata para kaum sufi dan tarekat, sehingga dalam amaliyah ibadah dzikir kaum sufi dikenal tasbih yang terbuat dari kayu kokka ini. Jangan heran bila sampai sekarang banyak yang mencarinya untuk dibuat berbagai perlengkapan aksesori keagamaan maupun karya seni, baik sebagai tasbih, cenderamata ala Timur Tengah, maupun lainnya.
Pohon kokka banyak tumbuh di dalam hutan negeri Arab non-gurun, Turki, Nigeria, Iran, Mesir, India, dan Afghanistan. Pohon ini sejenis tanaman hutan yang tumbuh liar, berada di antara semak-semak belukar, tumbuh sepanjang tahun, dan tersebar di seluruh daerah tropika.
Tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai cyperus, menyerupai kemenyan, pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia bagian selatan, khususnya di India, Iran, Nigeria, dan Mesir.
Di tengah kelangkaannya dan diburu orang masa kini, sangatlah wajar jika perkakas keagamaan seperti alat tasbih dari kayu kokka terbilang mahal. Namun bagi mereka yang memfokuskan pada penggunaannya, alat tasbih dari plastik maupun kayu biasa, yang jauh lebih murah, itu sudah cukup.
Hukum Berdzikir Menggunakan Tasbih
Dalam beberapa amalan dzikir, ada yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan La Ilaha illallah 100 kali. Demikian pula, amalan-amalan rutin yang termaktub dalam ratib maupun wirid, ada ketentuan bilangan yang jumlahnya bahkan mencapai ratusan. Apalagi jika seseorang yang punya ikatan (bai’at) dalam sebuah tarekat tertentu, ada amalan-amalan yang mesti dibaca secara rutin dengan jumlah bilangan hingga ribuan kali. Nah, untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang menggunakan tasbih, agar hitungan bacaan dzikirnya terjaga dan menambah kekhusyu’an.
Belakangan, ada sebahagian kalangan yang berseberangan pandangan dengan tradisi dzikir dan sufi ini. Mereka mengklaim bahwa penggunaan tasbih adalah bid’ah dan menyesatkan. Dengan dalih, hal itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan tak ada petunjuknya dari Rasulullah SAW. Mereka benar-benar mempermasalahkan ini sebagai bentuk kesesatan dalam beragama, karena bertasyabbuh dengan umat lain. Benarkah begitu?
Tasbih, atau subhah, atau misbahah, pemakaiannya sudah dilaksanakan dari masa Nabi SAW. Dalam sebuah hadits dijelaskan, “Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqqash dari ayahnya bahwa ia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih (Subhanallah). Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku akan memberi tahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah Subhanallah ‘adada ma khalaqa fis sama`, subhanallah ‘adada ma khalaqa fil ardh, subhanallah ‘adada ma khalaqa bayna dzalik, subhanallah ‘adada ma huwa khaliq, subhanallah ‘adada mistla dzalik, alhamdulillah ‘adada mistla dzalik...” (HR At-Tirmidzi).
Mengomentari hadits ini, ‘Allamah Syaikh Abi Al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim Al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntunan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang lebih besar.
Berangkat dari pendapat ini, dapat dipahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.
Contoh ULAMA**memakai biji**an untuk Bertasbih
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya bab Zuhud mengemukakan, Abu Darda RA mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantung. Usai ia shalat Subuh, biji kurma itu dikeluarkan satu per satu untuk digunakan buat menghitung dzikir hingga habis.
Abu Syaibah juga mengatakan, Sa’ad bin Abi Waqqash RA menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Kitab Al-Manahil Al-Musalsalah, karya Syaikh Abdul Baqi, mengetengahkan sebuah riwayat, Fathimah binti Al-Husain RA mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil, Al-Mubarrad mengatakan, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas RA (w. 110 H/728 M) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung rakaat-rakaat shalat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan “Dzu Nafatsat” (Pemilik Butir-butir Bebijian).
Abu Al-Qasim Ath-Thabari dalam kitab Karamah al-Awliya‘ mengatakan, “Banyak sekali orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syaikh Abu Muslim Al-Khaulani.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar